Ilustrasi THR [Foto : liputan6.com/iStockPhoto] |
Kewajiban perintah membayar THR kepada pekerja ini diatur secara sah oleh negara yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Regulasi ini mulai diberlakukan saat diundangkan, pada tanggal 8 Maret 2016 lalu. Isinya tertulis di di Pasal 3 angka 2 yang menyebutkan, bahwa pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja satu bulan diberikan secara proporsional sesuai masa kerja.
Oke… landasan dasarnya sudah pahamkan ? Kita lanjut ke informasi berikutnya.
***
Asal Muasal THR dan Istilah Nama Sebelum THR
Istilah THR yang akrab didengar hingga kini itu ternyata mulai diberlakukan sekitar tahun 1961. Itupun redaksionalnya bukan Tunjangan Hari Raya. Tapi Tundjangan Hari Raja Lebaran (THRL). Ketika itu Indonesia masih berada di zaman Orde Lama alias baru sekitar 1,5 dekade pasca Kemerdekaan Republik Indonesia.
Ada banyak istilah lainnya sebelum menjadi THR. Urutannya, mulai tahun 1943 atau 2 tahun sebelum tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, istilah THR ini bernama ‘Hadiah Lebaran’. Tapi yang menerima THR kala itu masih kalangan terbatas. Yaitu bagi kalangan aparatur pemerintah (kalo sekarang namanya PNS/ASN) saja. Di masa ini, Indonesia masih dalam jajahan Jepang.
Dikutip dari Buku Wawasan Politik Seorang Patriot Soekiman Wirjosandjojo, yang dilansir di situs kompas.com, sejarah THR bermula dari sini. THR dicetuskan secara resmi oleh Soekiman Wirjosandjojo, yang ketika itu menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-6 tahun 1951. Di saat menjabat, Soekiman membuat beberapa program kesejahteraan bagi para Pamong Praja. Pamong Praja adalah sebutan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di era awal kemerdekaan.
Soekiman sendiri politikus dari Partai Masyumi. Program THR ini dicetuskan tujuannya agar para PNS dan keluarganya di masa itu memberikan dukungan pada program-program pemerintah. Tahun 1953, istilah THR berganti nama yakni, ‘Pemberian Tundjangan Hari Raja Bagi Semua Buruh Sebesar Satu Bulan Gadji Kotor’. Dari sinilah Soekiman digadang-gadangkan sebagai Bapak Pencetus THR di Indonesia.
Di sisi lain, dilansir tirto.id, menurut Jafar Suryomenggolo
dalam bukunya Politik Perburuhan Era
Demokrasi Liberal 1950an (2015) menuliskan, latar belakang THR muncul
lantaran situasi ekonomi bernama kemiskinan absolut yang dialami kaum buruh. Di
hari-hari biasa mereka sangat sulit penghidupannya, apalagi ketika lebaran yang
butuh banyak biaya. Kebutuhan membengkak, penghasilan begitu-begitu saja.
“Sepanjang 1951-1952 masih belum ada aturan atau keputusan resmi pemerintah menyangkut THR—baik soal kepastiannya sebagai salah satu hak buruh (bukan semata-mata hadiah) maupun soal isi besarannya.”
Jafar juga menuliskan, THR di masa itu dipandang sebagai ‘pemberian yang bersifat sukarela dan yang tidak dapat dipaksakan’. Atas dasar situasi itulah sebuah organisasi buruh terbesar masa itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), ‘teguh dalam memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntuan akan THR’.
Perjuangan kaum buruh yang digalang SOBSI ini mulai menyuarakan ‘Pemberian Tundjangan Hari Raja Bagi Semua Buruh Sebesar Satu Bulan Gadji Kotor’, pada Sidang Dewan Nasional II, Maret 1953 di Jakarta. Sehingga jika tuntutan THR dipenuhi, setidaknya akan membuat hati buruh tentram. Dan dari sini jugalah sejarah kesetaraan golongan atau bukan cuma pekerja aparatur pemerintah yang berhak menerima THR namun juga bagi kalangan buruh dan lainnya.
Dari waktu ke waktu, SOBSI terus mendesak pemerintah untuk mewujudkan THR. Namun, semuanya tidak serta merta terpenuhi seperti dituntut serikat buruh (termasuk SOBSI). "Apa yang terjadi muncul perlahan dan bertahap, sesuai dengan desakan tuntutan gerakan buruh dan kehati-hatian politik pemerintah dalam menghadapi kekuatan sosial gerakan buruh,” tulis Jafar.
Di tahun 1954, istilah lain THR di masa itu adalah ‘Persekot Hari Raja’ [dibaca ; Persekot Hari Raya]. Namun ‘Persekot Hari Raja’ hanya diberikan kepada golongan PNS/ASN. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954, tanggal 19 Maret 1954, tentang Pemberian Persekot Hari Raja Kepada Pegawai Negeri.
Tapi ternyata THR ini ternyata bukan hadiah atau penghasilan tambahan percuma. Melainkan uang muka alias pinjaman kepada PNS/ASN kala itu. Dan perihal ini diatur di pasal 6 PP No.27/1954. Dari pinjaman itu, maka PNS/ASN yang menerima ‘Persekot Hari Raja’ itu wajib mengembalikannya lagi selama 6 kali angsuran dengan cara potong gaji setiap bulan.
Di sisi lain, bagi kaum buruh, THR kala itu disebut ‘Hadiah Lebaran’. Ini tertuang pada Surat Edaran (SE) Nomor 3676 Tahun 1954 yang dikeluarkan Menteri Perburuhan, S.M. Abidin dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Tahun 1953 - 1955. Regulasi ini pun berjalan selama 4 tahun ke depan atau berlaku hingga tahun 1958.
Tapi sayangnya regulasi ini tak kuat. Karena hanya sebatas edaran dan imbauan tapi tak menyenangkan kaum buruh di kala lebaran di masa itu. Karena dinilai sebagai imbauan, jadi banyak perusahaan swasta menafsirkan yang kesannya THR tidak wajib dibayarkan. Dari permasalahan ini, SOBSI terus bergerak menyuarakan tuntutan kesetaraan hak atas THR.
Alhasil, titik cerah terlihat di tahun 1961. Di tahun itu, Menteri Perburuhan dalam Kabinet Kerja II, Ahem Erningpraja mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961. Meski regulasi ini sudah menetapkan besaran THR belum sebulan gaji kotor, namun THR wajib dibayarkan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya 3 bulan kerja.
Tahun berjalan, THR terus dilangsungkan. Sepuluh tahun kemudian atau tepatnya di 1972, istilah dan regulasi THR sempat mengalami perubahan lagi. Ditandai terbitnya Surat Edaran (SE) Nomor 2877/M/1972, tertanggal 27 November 1972 yang isinya menyatakan pengusaha tidak diwajibkan membayarkan THR. Hingga akhirnya di era Orde Baru, aturan mengenai besaran dan skema THR secara lugas diterbitkan pemerintah lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Swasta di Perusahaan.
Seiring perubahan zaman, situasi ekonomi, sosiologi masyarakat
dan faktor lainnya, regulasi THR terus mengalami perubahan atas dasar
sinkronisasi kondisi kekinian negeri. Revisi regulasi terjadi lagi di 2016. Itu
ditandai dengan hadirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016
tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Nah, sejak
regulasi ini mulai diberlakukan pada 8 Maret 2016 lalu, artinya regulasi
sebelumnya tereleminasi alias tidak berlaku lagi.
Usai sudah kilas balik tentang sejarah singkat tentang THR yang dirangkum dari berbagai sumber. Bahwa, hadirnya THR di Indonesia tidak muncul bak menghela nafas. Bangsa ini harus mengakui, bahwa ada perjuangan panjang dari kaum buruh untuk meraih kesetaraan hak atas THR di bumi pertiwi ini. Dan kini, saya yakin hampir sejagad Indonesia Raya ini pastinya tidak ada yang tidak tau atau tidak mengenal istilah THR. Ibarat pepatah, ‘dengan THR, maka aku (dianggap) ada’, hahahaha…(pepatah opo kui?)
Sedikit mengutip kalimat Jafar Suryomenggolo, “THR adalah ciri khas yang memang lahir dan pelaksanaannya berasal dari situasi khusus di Indonesia,”. Artinya, THR ada di Indonesia ini berdiri sendiri alias bukan warisan budaya atau kultur dari bangsa asing yang pernah menjajah negeri ini.
Satu hal lagi yang tidak bisa dipungkiri, bahwa harus diakui
THR ada di Indonesia bermula atas dasar dari kepentingan politik yang tujuannya
untuk kemaslahatan umat. Niat suci nan bersih dalam berpolitik akan berakhir
amalan jariyah sepanjang masa. Insyaallaah. Wallahu A’l am Bishawab….
***
THR Cuma di Indonesia ?
Apakah (budaya) THR cuma ada di Indonesia ? Sepertinya iya. Lantas, apakah di negeri orang ada yang serupa dengan Indonesia soal THR ? Sepertinya tidak. Kalaupun ada, hanya serupa dan bukan berupa (uang) tunjangan untuk (kebutuhan) hari raya/hari besar keagamaan.
Dilansir VOI, negara lain yang memberikan tunjangan bagi
masyarakat atau pekerjanya adalah Belanda. Tapi di Belanda itu disebut sebagai ‘Tunjangan
Liburan’ (Holiday Allowance). Nah, untuk mendapatkan uang tunjangan itu, warga
atau pekerja di Belanda harus menyumbangkan sebagian dari gaji bulanan. Artinya,
mereka nabung dulu baru bisa dapat tunjangan.
Tunjangan Liburan itu merupakan pembayaran upah tambahan
yang wajib diberikan oleh majikan atau perusahaan kepada para karyawan mereka. Tunjangan
Liburan di Belanda sudah ada sejak tahun 1920-an. Tujuan dari adanya Tunjangan
Liburan itu cara memberi pekerja insentif supaya uangnya itu digunakan untuk
berlibur. Barulah di 1960-an, muncul fenomena di mana para pekerja di Belanda
melakukan liburan mewah ke luar negeri.
Tunjangan Liburan di Belanda ini rutin dibayarkan setiap bulan Mei. Sehingga ketika musim liburan tiba, pekerja telah menyisihkan uang untuk cuti musim panas. Bersyukur jadi warga Belanda ya… Paling bersyukur lagi jika jadi WNI dan bekerja di Belanda. Dapat tunjangannya dobel, mas. Hehehe….
Komentar
Posting Komentar