Langsung ke konten utama

THR, Ciri Khas dan Budaya yang Tegak Sendiri di Indonesia

Ilustrasi THR [Foto : liputan6.com/iStockPhoto]

Tunjangan Hari Raya yang jika disingkat adalah THR, merupakan pendapatan tambahan yang wajib dibayarkan pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang hari raya keagamaan di Indonesia. THR wajib dibayarkan paling lambat tujuh hari sebelum hari raya keagamaan. Ingat…! Seluruh hari raya keagamaan. Jadi, bukan Muslim saja yang bisa menikmati THR. Bagi pekerja umat Kristiani, Budha, Hindu juga demikian haknya.

Kewajiban perintah membayar THR kepada pekerja ini diatur secara sah oleh negara yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Regulasi ini mulai diberlakukan saat diundangkan, pada tanggal 8 Maret 2016 lalu. Isinya tertulis di di Pasal 3 angka 2 yang menyebutkan, bahwa pekerja atau buruh yang mempunyai masa kerja satu bulan diberikan secara proporsional sesuai masa kerja.

Oke… landasan dasarnya sudah pahamkan ? Kita lanjut ke informasi berikutnya.

 

***

Asal Muasal THR dan Istilah Nama Sebelum THR 

Istilah THR yang akrab didengar hingga kini itu ternyata mulai diberlakukan sekitar tahun 1961. Itupun redaksionalnya bukan Tunjangan Hari Raya. Tapi Tundjangan Hari Raja Lebaran (THRL). Ketika itu Indonesia masih berada di zaman Orde Lama alias baru sekitar 1,5 dekade pasca Kemerdekaan Republik Indonesia.

Ada banyak istilah lainnya sebelum menjadi THR. Urutannya, mulai tahun 1943 atau 2 tahun sebelum tahun Kemerdekaan Republik Indonesia, istilah THR ini bernama ‘Hadiah Lebaran’. Tapi yang menerima THR kala itu masih kalangan terbatas. Yaitu bagi kalangan aparatur pemerintah (kalo sekarang namanya PNS/ASN) saja. Di masa ini, Indonesia masih dalam jajahan Jepang.

Dikutip dari Buku Wawasan Politik Seorang Patriot Soekiman Wirjosandjojo, yang dilansir di situs kompas.com, sejarah THR bermula dari sini. THR dicetuskan secara resmi oleh Soekiman Wirjosandjojo, yang ketika itu menjabat sebagai Perdana Menteri Indonesia ke-6 tahun 1951. Di saat menjabat, Soekiman membuat beberapa program kesejahteraan bagi para Pamong Praja. Pamong Praja adalah sebutan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS) di era awal kemerdekaan.

Soekiman sendiri politikus dari Partai Masyumi. Program THR ini dicetuskan tujuannya agar para PNS dan keluarganya di masa itu memberikan dukungan pada program-program pemerintah. Tahun 1953, istilah THR berganti nama yakni, ‘Pemberian Tundjangan Hari Raja Bagi Semua Buruh Sebesar Satu Bulan Gadji Kotor’.  Dari sinilah Soekiman digadang-gadangkan sebagai Bapak Pencetus THR di Indonesia.

Di sisi lain, dilansir tirto.id, menurut Jafar Suryomenggolo dalam bukunya Politik Perburuhan Era Demokrasi Liberal 1950an (2015) menuliskan, latar belakang THR muncul lantaran situasi ekonomi bernama kemiskinan absolut yang dialami kaum buruh. Di hari-hari biasa mereka sangat sulit penghidupannya, apalagi ketika lebaran yang butuh banyak biaya. Kebutuhan membengkak, penghasilan begitu-begitu saja.

“Sepanjang 1951-1952 masih belum ada aturan atau keputusan resmi pemerintah menyangkut THR—baik soal kepastiannya sebagai salah satu hak buruh (bukan semata-mata hadiah) maupun soal isi besarannya.”

Jafar juga menuliskan, THR di masa itu dipandang sebagai ‘pemberian yang bersifat sukarela dan yang tidak dapat dipaksakan’. Atas dasar situasi itulah sebuah organisasi buruh terbesar masa itu, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), ‘teguh dalam memimpin perjuangan gerakan buruh demi terpenuhinya tuntuan akan THR’.

Perjuangan kaum buruh yang digalang SOBSI ini mulai menyuarakan ‘Pemberian Tundjangan Hari Raja Bagi Semua Buruh Sebesar Satu Bulan Gadji Kotor’, pada Sidang Dewan Nasional II, Maret 1953 di Jakarta. Sehingga jika tuntutan THR dipenuhi, setidaknya akan membuat hati buruh tentram.  Dan dari sini jugalah sejarah kesetaraan golongan atau bukan cuma pekerja aparatur pemerintah yang berhak menerima THR namun juga bagi kalangan buruh dan lainnya.

Dari waktu ke waktu, SOBSI terus mendesak pemerintah untuk mewujudkan THR. Namun, semuanya tidak serta merta terpenuhi seperti dituntut serikat buruh (termasuk SOBSI). "Apa yang terjadi muncul perlahan dan bertahap, sesuai dengan desakan tuntutan gerakan buruh dan kehati-hatian politik pemerintah dalam menghadapi kekuatan sosial gerakan buruh,” tulis Jafar.

Di tahun 1954, istilah lain THR di masa itu adalah ‘Persekot Hari Raja’ [dibaca ; Persekot Hari Raya]. Namun ‘Persekot Hari Raja’ hanya diberikan kepada golongan PNS/ASN. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1954, tanggal 19 Maret 1954, tentang Pemberian Persekot Hari Raja Kepada Pegawai Negeri.  

Tapi ternyata THR ini ternyata bukan hadiah atau penghasilan tambahan percuma. Melainkan uang muka alias pinjaman kepada PNS/ASN kala itu. Dan perihal ini diatur di pasal 6 PP No.27/1954. Dari pinjaman itu, maka PNS/ASN yang menerima ‘Persekot Hari Raja’ itu wajib mengembalikannya lagi selama 6 kali angsuran dengan cara potong gaji setiap bulan.

Di sisi lain, bagi kaum buruh, THR kala itu disebut ‘Hadiah Lebaran’.  Ini tertuang pada Surat Edaran (SE) Nomor 3676 Tahun 1954 yang dikeluarkan Menteri Perburuhan, S.M. Abidin dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo I, Tahun 1953 - 1955. Regulasi ini pun berjalan selama 4 tahun ke depan atau berlaku hingga tahun 1958.

Tapi sayangnya regulasi ini tak kuat. Karena hanya sebatas edaran dan imbauan tapi tak menyenangkan kaum buruh di kala lebaran di masa itu. Karena dinilai sebagai imbauan, jadi banyak perusahaan swasta menafsirkan yang kesannya THR tidak wajib dibayarkan. Dari permasalahan ini, SOBSI terus bergerak menyuarakan tuntutan kesetaraan hak atas THR.

Alhasil, titik cerah terlihat di tahun 1961. Di tahun itu, Menteri Perburuhan dalam Kabinet Kerja II, Ahem Erningpraja mengeluarkan Peraturan Menteri Perburuhan Nomor 1 Tahun 1961. Meski regulasi ini sudah menetapkan besaran THR belum sebulan gaji kotor, namun THR wajib dibayarkan dan menjadi hak buruh dengan masa kerja sekurang-kurangnya 3 bulan kerja.

Tahun berjalan, THR terus dilangsungkan. Sepuluh tahun kemudian atau tepatnya di 1972, istilah dan regulasi THR sempat mengalami perubahan lagi. Ditandai terbitnya Surat Edaran (SE) Nomor 2877/M/1972, tertanggal 27 November 1972 yang isinya menyatakan pengusaha tidak diwajibkan membayarkan THR. Hingga akhirnya di era Orde Baru, aturan mengenai besaran dan skema THR secara lugas diterbitkan pemerintah lewat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 04 Tahun 1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Swasta di Perusahaan.

Seiring perubahan zaman, situasi ekonomi, sosiologi masyarakat dan faktor lainnya, regulasi THR terus mengalami perubahan atas dasar sinkronisasi kondisi kekinian negeri. Revisi regulasi terjadi lagi di 2016. Itu ditandai dengan hadirnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Nah, sejak regulasi ini mulai diberlakukan pada 8 Maret 2016 lalu, artinya regulasi sebelumnya tereleminasi alias tidak berlaku lagi.

Usai sudah kilas balik tentang sejarah singkat tentang THR yang dirangkum dari berbagai sumber. Bahwa, hadirnya THR di Indonesia tidak muncul bak menghela nafas. Bangsa ini harus mengakui, bahwa ada perjuangan panjang dari kaum buruh untuk meraih kesetaraan hak atas THR di bumi pertiwi ini. Dan kini, saya yakin hampir sejagad Indonesia Raya ini pastinya tidak ada yang tidak tau atau tidak mengenal istilah THR. Ibarat pepatah, ‘dengan THR, maka aku (dianggap) ada’, hahahaha…(pepatah opo kui?)

Sedikit mengutip kalimat Jafar Suryomenggolo,  “THR adalah ciri khas yang memang lahir dan pelaksanaannya berasal dari situasi khusus di Indonesia,”. Artinya, THR ada di Indonesia ini berdiri sendiri alias bukan warisan budaya atau kultur dari bangsa asing yang pernah menjajah negeri ini.

Satu hal lagi yang tidak bisa dipungkiri, bahwa harus diakui THR ada di Indonesia bermula atas dasar dari kepentingan politik yang tujuannya untuk kemaslahatan umat. Niat suci nan bersih dalam berpolitik akan berakhir amalan jariyah sepanjang masa. Insyaallaah. Wallahu A’l am Bishawab….


***

THR Cuma di Indonesia ?

Apakah (budaya) THR cuma ada di Indonesia ? Sepertinya iya. Lantas, apakah di negeri orang ada yang serupa dengan Indonesia soal THR ? Sepertinya tidak. Kalaupun ada, hanya serupa dan bukan berupa (uang) tunjangan untuk (kebutuhan) hari raya/hari besar keagamaan.

Dilansir VOI, negara lain yang memberikan tunjangan bagi masyarakat atau pekerjanya adalah Belanda. Tapi di Belanda itu disebut sebagai ‘Tunjangan Liburan’ (Holiday Allowance). Nah, untuk mendapatkan uang tunjangan itu, warga atau pekerja di Belanda harus menyumbangkan sebagian dari gaji bulanan. Artinya, mereka nabung dulu baru bisa dapat tunjangan.

Tunjangan Liburan itu merupakan pembayaran upah tambahan yang wajib diberikan oleh majikan atau perusahaan kepada para karyawan mereka. Tunjangan Liburan di Belanda sudah ada sejak tahun 1920-an. Tujuan dari adanya Tunjangan Liburan itu cara memberi pekerja insentif supaya uangnya itu digunakan untuk berlibur. Barulah di 1960-an, muncul fenomena di mana para pekerja di Belanda melakukan liburan mewah ke luar negeri.

Tunjangan Liburan di Belanda ini rutin dibayarkan setiap bulan Mei. Sehingga ketika musim liburan tiba, pekerja telah menyisihkan uang untuk cuti musim panas. Bersyukur jadi warga Belanda ya… Paling bersyukur lagi jika jadi WNI dan bekerja di Belanda. Dapat tunjangannya dobel, mas. Hehehe…. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Lebaran & Fenomena Pinjol

"Dimana Musim Lebaran, Di situlah Pinjol Bertebaran" *** Scroll Up... Scroll down... Wall Facebook saya malam ini dipenuhi postingan bersponsor pinjaman online (pinjol). Menariknya, tanpa jaminan/agunan. Mulai dari lembaganya yang berbentuk Pondok Pesantren, Koperasi, dan lainnya. Ironinya, setiap membaca komentar dari masing-masing postingan tersebut, masih banyak netizen yang yang berkomentar berminat jika tanpa jaminan 🤣🤣. Disisi lain ada juga yang berkomentar hati-hati penipuan. Karena logikanya, jika tidak ada jaminan/agunan, peminjam pastinya akan disuruh bayar biaya admin dimuka. Jika diistilahkan, ada yang sedang memasang jebakan/perangkap, tapi apakah jebakannya yang rusak atau (calon) mangsanya yang bodoh. 🤭 Fenomena di atas membuktikan bahwa mindset pragmatis sebagian orang untuk mendapatkan uang dengan cara instan masih dominan. Terlebih saat ini menjelang lebaran. Karena akan ada banyak kebutuhan yang dipersiapkan menyambut lebaran. Fenomena di atas juga m...

Belajar dari Pandemi Flu Spanyol 1918. Isolasi Terbuka = Kunci Sembuh

Sirine ambulans hampir setiap saat terdengar jelas dari ruang kerjaku di rumah. Kadang pagi, siang, sore dan malam. Sesekali ketika dinihari. Jarak rumahku ke jalan poros lintas provinsi Bengkulu – Lubuklinggau sekitar 100 meter. Tapi saya tidak bisa memastikan apakah isi ambulans itu pasien Covid-19 yang meninggal atau bukan ? Di banyak media, baik itu media online , televisi maupun cetak, update pemberitaan data kasus Covid-19 sejak Juni 2021 terus meningkat. Sampai akhirnya pada Sabtu 3 Juli 2021, Pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan instruksi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) alias Lockdown Jilid 2 hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Data per Rabu (7/7/2021), kasus Covid-19 yang menyebar di 510 kabupaten/kota di 34 provinsi totalnya mencapai 34.379 kasus. (Selengkapnya ada di tabel data sebaran kasus Covid-19). Ada 3 poin yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Yaitu, oksigen, imunitas (sinar matahari) dan pola hidup (habbit) . *** Saya mencoba me-...

Bertualang ke Air Terjun Donok Desa Batu Ampar

Rabu 23 Juni 2021, sekitar pukul 9.30 WIB, teleponku berdering. Ternyata dari Betty Herlina yang mengatakan sudah hampir sampai ke rumahku. Beberapa menit kemudian sebuah minivan warna putih tiba di depan rumah. Pengemudinya adalah Komi Kendy. Teman  satu organisasi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu.  Sekaligus adek tingkatku sewaktu di Jurusan D3 Jurnalistik Universitas Bengkulu (Unib).  Tapi ternyata isi di mobil itu ada tiga orang. Yang seorang lagi bocah. Umurnya kisaran 5 tahun.  Bocah itu anak sulung Komi Kendy. Sean Kilimanjaro namanya. Panggilannya Sean. Saya tidak banyak tanya kenapa Sean ikut ? Karena saya sudah tahu banyak tentang ibunya yang memang berjiwa petualang sejak di kampus dulu. Jadi sangat wajar jika Sean diajak ibunya ke rimba. Sempat melepas sedikit penat dan meregangkan otot di rumahku. Karena perjalanan dari Bengkulu menuju rumahku sekitar dua jam lamanya atau sekitar 80 kilometer. Sepuluh menit kemudian kami pun meluncur ke De...