Langsung ke konten utama

Belajar dari Pandemi Flu Spanyol 1918. Isolasi Terbuka = Kunci Sembuh

Sirine ambulans hampir setiap saat terdengar jelas dari ruang kerjaku di rumah. Kadang pagi, siang, sore dan malam. Sesekali ketika dinihari. Jarak rumahku ke jalan poros lintas provinsi Bengkulu – Lubuklinggau sekitar 100 meter. Tapi saya tidak bisa memastikan apakah isi ambulans itu pasien Covid-19 yang meninggal atau bukan ?

Di banyak media, baik itu media online, televisi maupun cetak, update pemberitaan data kasus Covid-19 sejak Juni 2021 terus meningkat. Sampai akhirnya pada Sabtu 3 Juli 2021, Pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan instruksi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) alias Lockdown Jilid 2 hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia.

Data per Rabu (7/7/2021), kasus Covid-19 yang menyebar di 510 kabupaten/kota di 34 provinsi totalnya mencapai 34.379 kasus. (Selengkapnya ada di tabel data sebaran kasus Covid-19). Ada 3 poin yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Yaitu, oksigen, imunitas (sinar matahari) dan pola hidup (habbit).





***

Saya mencoba me-repost tulisan yang saya rasa ada benarnya dan secara logika saya rasa cukup rasional. Tulisan ini sebelumnya pernah dilansir di farah.id. Pandemi Covid-19 mengingatkan kita pada pandemi Influenza yang pernah terjadi pada 1918 silam. Yang juga disebut Pandemi Flu Spanyol (Spanish Flu). Menurut Richard Hobday, penulis sekaligus akademisi dan otoritas kesehatan yang diakui secara internasional di Built Environment menyatakan, ada pelajaran penting yang bisa diambil dari pandemi Flu Spanyol 1918.

Menurutnya, catatan dari pandemi Flu Spanyol 1918 menunjukkan, ada teknik yang digunakan untuk menangani influenza. Teknik tersebut tidak banyak diketahui saat ini. Namun bekerja sangat efektif untuk membantu pemulihan pasien influenza. Kata kuncinya adalah udara segar, sinar matahari, dan masker wajah. Hal itu kemungkinan juga bisa membantu kita saat ini.

"Sederhananya, petugas medis menemukan bahwa pasien yang sakit flu parah dirawat di luar rumah, pulih lebih baik daripada mereka yang dirawat di dalam ruangan. Kombinasi udara segar dan sinar matahari telah mencegah kematian di antara para pasien, dan infeksi di antara staf medis," tulis Hobday. Dia juga menambahkan, bahwa ada dukungan ilmiah untuk hal tersebut.

"Penelitian menunjukkan bahwa udara luar adalah naturan disinfektan. Udara segar dapat membunuh virus flu dan kuman berbahaya lainnya. Sama halnya, dengan sinar matahari," tambahnya dalam artikel berjudul Coronavirus and the Sun : a Lesson from the 1918 Influenza Pandemic, yang dimuat di Medium.com

Merujuk pada sejarah, selama pandemi 1918 lalu, dua tempat terburuk penularan adalah, barak militer dan kapal pasukan. Pasalnya, kepadatan dan ventilasi yang buruk membuat prajurit dan pelaut berisiko tinggi terkena influenza dan infeksi lain yang sering mengikutinya. Sebagian besar korban infeksi Flu Spanyol itu rata-rata tidak meninggal dunia karena influenza itu sendiri. Melainkan karena peradangan paru akibat infeksi (pneumonia). Sedangkan pada Covid-19, selain pneumonia korban meninggal juga disebabkan oleh adanya penyakit penyerta lainnya (Komorbid).

Artinya, sama halnya juga yang terjadi di pandemi Covid-19 saat ini. Diberitakan Merdeka.com, kata dokter spesialis penyakit dalam, Candra Wiguna, lebih dari 90 % pasien Covid-19 dengan gejala berat bahkan berujung kematian memiliki riwayat penyakit bawaan. Atau penyakit penyerta alias Komorbid. Komorbid itu diantaranya hipertensi, diabetes, jantung, paru-paru hingga ginjal.

Data 2020 dari Satgas Penanganan Covid-19, 49,8 % pasien positif Covid-19 di Indonesia memiliki komorbid hipertensi. 35,1 % penyakit diabetes, 19,3 % penyakit Jantung, 6 % penyakit ginjal. Sedangkan pasien Covid-19 yang meninggal dunia kelompok umur di atas 60 tahun, sebesar 43.4 %.

Kembali ke kasus Flu Spanyol. Pandemi influenza waktu itu mencapai pantai Timur Amerika Serikat pada 1918. Dan Kota Boston sangat terpukul. Sehingga pengawal negara waktu itu mendirikan rumah sakit darurat. Mereka mengambil kasus terburuk di antara pelaut di kapal di Pelabuhan Boston.

Petugas medis rumah sakit telah memperhatikan bahwa para pelaut yang sakit paling parah berada di ruang berventilasi buruk. Pada saat itu, sudah umum untuk menempatkan tentara yang sakit di luar ruangan terbuka. Hal semacam itu juga menjadi pengobatan pilihan untuk infeksi pernapasan lain yang umum dan sering mematikan pada saat itu, seperti TBC (Tuber Culosis).

Pasien ditempatkan di atas tempat tidur mereka menghirup udara segar di luar ruangan. Atau mereka dirawat di bangsal berventilasi silang dengan jendela terbuka siang dan malam. Metode udara terbuka semacam ini populer sampai antibiotik menggantikannya di tahun 1950-an.

Hobday menambahkan, pasien yang dirawat di luar ruangan cenderung menghirup udara bersih di lingkungan yang sebagian besar steril. "Kita tahu ini karena pada 1960-an, para ilmuwan Kementerian Pertahanan membuktikan, bahwa udara segar adalah disinfektan alami," sambungnya.

Menempatkan pasien yang terinfeksi di bawah sinar matahari mungkin bisa membantu. Karena tidak mengaktifkan virus influenza serta membantu membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi paru-paru dan lainnya di rumah sakit.

"Selama Perang Dunia I, ahli bedah militer secara rutin menggunakan sinar matahari untuk menyembuhkan luka yang terinfeksi. Mereka tahu itu disinfektan. Apa yang mereka tidak tahu adalah bahwa satu keuntungan menempatkan pasien di luar di bawah sinar matahari adalah mereka dapat mensintesis vitamin D di kulit mereka jika sinar matahari cukup kuat," tulisnya.

Kadar vitamin D yang rendah, dalam penelitian terbaru dikaitkan dengan infeksi pernapasan dan dapat meningkatkan kerentanan terhadap influenza. Selain itu, ritme biologis tubuh kita tampaknya memengaruhi cara kita melawan infeksi. Penelitian baru juga menunjukkan bahwa mereka dapat mengubah respons peradangan kita terhadap virus flu.

Namun, seperti halnya vitamin D pada saat pandemi 1918. Bagian penting yang dimainkan oleh sinar matahari dalam menyinkronkan ritme ini tidak diketahui. Selain udara segar dan sinar matahari, faktor lain yang juga membantu mengeram pandemi Flu Spanyol 1918 lalu adalah masker improvisasi.

Selama pandemi, tim medis juga mengenakan masker bedah untuk melindungi diri dari infeksi. Namun masker samacam itu memiliki kekurangan, yakni tidak menutupi wajah, sehingga kurang efektif dalam menyaring partikel udara kecil.

"Pada 1918, siapa pun di rumah sakit darurat di Boston yang melakukan kontak dengan pasien harus mengenakan masker wajah improvisasi. Ini terdiri dari lima lapis kain kasa yang dipasang pada kerangka kawat yang menutupi hidung dan mulut. Bingkai itu dibentuk agar sesuai dengan wajah pemakainya dan mencegah filter kasa menyentuh mulut dan lubang hidung," tulisnya.

"Mereka (masker wajah improvisasi) itu adalah cikal bakal respirator N95 yang digunakan di rumah sakit hari ini untuk melindungi staf medis terhadap infeksi yang ditularkan melalui udara," begitu tulisnya.

1918 adalah tahun dimana teknologi belum begitu semodern saat ini. Sehingga sangat wajar jika belum banyak bangunan atau gedung rumah sakit. Logikanya, betul. Tapi kita tidak sedang membahas teknologi atau perbandingan sebuah masa. Atau juga tidak sedang membandingkan kondisi rumah sakit era Perang Dunia I dengan era milenial kini. Tulisan ini ditujukan untuk menilik sejarah guna mengambil hikmah dari sejarah pandemi yang pernah terjadi 100 tahun silam.



***

Terkait fenomena Pandemi Covid-19, saya yakin pemerintah Indonesia khususnya, banyak belajar dan mengambil sisi positif dari pandemi Flu Spanyol. Hanya saja, sedikit sekali informasi tentang fase penyembuhan atau isolasi di lakukan di ruang terbuka. Padahal, secara logika ketika proses isolasi, tubuh butuh asupan oksigen bersih.

Dari hasil penelusuran, baru Rumah Sakit Umum daerah (RSUD) Sekayu di Kabupaten Musi Banyuasin, Provinsi Sumatra Selatan yang menerapkan konsep ruang isolasi pasien Covid-19 secara outdoor. Fasilitasnya, tenda berkemah (camping), tempat tidur gantung (hammock) dan lainnya. Dan ini tetap dipantau tim medis selama 24 jam.

"RSUD Sekayu untuk pertama kali mempersiapkan tempat isolasi outdoor," kata Bupati Musi Banyuasin, Dodi Reza Alex dikutip dari siaran CNNIndonesia TV, tepat setahun lalu.

Menurut keterangan dari rumah sakit, isolasi sekaligus terapi pasien secara outdoor itu mampu membuat perubahan peningkatan pada angka kesembuhan pasien. Meski belum terlalu signifikan. “Penelitian juga membuktikan bahwa para pasien itu bisa lebih cepat sembuh apabila imunitas tubuhnya meningkat. Salah satu cara meningkatkan imunitas tubuh adalah perasaan yang tidak stress," ungkapnya.

Pun demikian, bukan berarti juga isolasi di ruang tertutup tidak ada oksigen bersih. Saya cuma sedikit skeptis. Apakah isolasi di ruang tertutup dengan minimnya ventilasi udara, sirkulasi udara berjalan normal ? Atau katakanlah di ruangan yang cukup lapang dan ber AC (air conditioner). Apakah sirkulasi udaranya sudah baik ?

Untuk diketahui, dari penelitian yang dipublis poltekkeskupang.ac.id, kebutuhan udara jauh lebih berat dibandingkan dengan kebutuhan makanan dan air. Dalam sehari, orang dewasa membutuhkan udara 13,64 kg. Sedangkan untuk makanan 1,37 kg dan air 2,05 kg. Kebutuhan oksigen di tubuh manusia merupakan kebutuhan mendasar dan mendesak. Tanpa oksigen dalam waktu tertentu tubuh akan mengalami kerusakan dan mengakibatkan kematian.

Secara normal, kebutuhan udara orang yang sedang bersitrahat membutuhkan udara 7,5 liter/menit. Jika dalam posisi bekerja normal, seseorang butuh asupan udara 15 liter/menit. Dan jika seseorang sedang dalam posisi bekerja berat, maka udara yang dibutuhkan sebanyak 45 liter/menit.

Pada siklus respirasi normal, manusia bernafas sebanyak 14-20 kali/menit. Sel tubuh manusia membutuhkan oksigen untuk mempertahankan kelangsungan metabolisme. Oksigen dibutuhkan untuk memproduksi ATP (Adenosina Trifosfat). Yaitu sumber bahan bakar bagi sel agar dapat berfungsi secara optimal. ATP memberikan energi yang diperlukan untuk melakukan berbagai aktivitas dan memelihara fungsi tubuh.

Sementara itu, faktor penyebab pencemaran udara di dalam ruangan (indoor) diantaranya ; kurangnya ventilasi udara (52%). Sumber kontaminan di dalam ruangan (16%), kontaminan dari luar ruangan (10%). Mikroba (5 %), bahan material bangunan (4 %) dan lainnya (13 %). Sumber pencemaran udara ini bisa dari aktifitas rumah tangga seperti asap. Sehingga akibat dari pencemaran di dalam ruangan itu menimbulkan Sick Building Syndrome (SBS). Yang mana gejalanya yaitu, sakit kepala, hilang konsentrasi, tenggorokan kering. Iritasi mata dan kulit, kelelahan mental, sakit kepala. ISPA, batuk, bersin-berisn dan reaksi hypersensitivitas.

Diberitakan suara.com, ruangan bersih yang rajin disapu dan dipel faktanya juga masih terpapar bakteri. Secara sadar, benar. Bahwa ruangan yang rajin dibersihkan akan membuang debu. Tapi tanpa disadari, ada alergen dalam ruangan yang bisa membuat orang rentan terhadap alergi serius.

“Tungau debu rumah, bulu hewan peliharaan, asap dari dapur dengan ventilasi buruk adalah pemicu serangan alergen dan memperburuk gejalanya," kata Dr Lancelot Pinto dikutip dari Times of India.

Bahkan AC ruangan, debu di karpet dan ruangan tertutup berkontribusi memperburuk gejala. Apalagi kebanyakan orang terlalu memperhatikan polusi udara di luar tanpa memperhatikan polutan dari dalam ruangan. Sementara banyak orang lebih sering menghabiskan waktu di dalam rumah akibat pandemi. Padahal sirkulasi udara yang baik pun harus jadi perhatian serius selama pandemi.

Kenapa kualitas oksigen sangat penting ? Karena para ahli meyakini, Covid-19 menyerang organ paru-paru manusia. Terlebih jika pasien telah mengidap pneumonia sebelumnya. Jika pasien mengalami Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), kerusakan bisa terjadi pada lapisan luar paru. Artinya, hal yang paling prioritas ketika terinfeksi virus Covid-19 adalah menyegerakan asupan oksigen bersih. Karena ini penting bagi kesehatan paru-paru pasien.

Menurut pemberitaan kontan.co.id, Profesor Patologi dari University of Chicago School of Medicine, Dr Shu-Yuan Xiao mengatakan, pasien dengan gejala ringan Covid-19 tidak akan mengalami efek atau kerusakan pada organ paru. Beda dengan pasien Covid-19 yang kondisinya cukup parah.

Xiao juga mengatakan, pasien Covid-19 yang kondisinya parah mungkin fungsi parunya tidak akan kembali seperti semula. Antibodi dan imunitas pasien yang terinfeksi Covid-19 akan memiliki antibodi yang menghalau virus itu untuk kembali dalam tubuh. Hal ini menyebabkan imunitas. Tapi belum jelas berapa lama imunitas itu bertahan ?

Di Hong Kong Hospital Authority, Xiao melaporkan, dari 12 pasien Covid-19 yang sembuh, tiga diantaranya mengalami pengurangan fungsi paru. Ketika berjalan kaki, orang itu sesak napas. Begitu dicek, hasil rontgen menunjukkan ada kerusakan pada paru-paru mereka.

Jika sudah mengena organ paru, artinya pasien butuh asupan oksigen. Dan alat bantu pernapasan itu bernama Ventilator. Pasien menggunakan ventilator biasanya selama beberapa minggu. Pasien itu biasanya tinggal di ICU selama beberapa hari sebelum akhirnya kembali ke ruang rawat inap di rumah sakit hingga beberapa minggu ke depan.

Sedangkan menurut Direktur National Institute of Allergy and Infectious Disease, Dr Anthony Fauci meyakini, pasien yang sudah sembuh akan memiliki imunitas total terhadap virus SARS-CoV-2. Tapi faktanya, orang yang pernah kena Covid-19 bisa terinfeksi lagi. Di Korea dan China misalnya. Ada 51 orang yang terinfeksi Covid-19 dan sembuh. Tapi malah terinfeksi lagi oleh virus yang sama. Tapi di sisi lain ada ahli meyakini, virus yang ada di tubuh waktu itu aktif kembali. 

Memang, penyebab kematian kasus Covid-19 ini didominasi oleh adanya Komorbid.  
Diberitakan Merdeka.com, kata dokter Spesialis Penyakit Dalam, Candra Wiguna, lebih dari 90 % pasien Covid-19 dengan gejala berat bahkan berujung kematian memiliki riwayat penyakit bawaan. Atau penyakit penyerta alias Komorbid. Komorbid itu diantaranya hipertensi, diabetes, jantung, paru-paru hingga ginjal.

Data 2020 dari Satgas Penanganan Covid-19, 49,8 % pasien positif Covid-19 di Indonesia memiliki komorbid hipertensi. 35,1 % penyakit diabetes, 19,3 % penyakit Jantung, 6 % penyakit ginjal. Sedangkan pasien Covid-19 yang meninggal dunia kelompok umur di atas 60 tahun, sebesar 43.4 %.



***

Setiap orang pasti punya kebiasaan masing-masing dalam konteks menjaga kesehatan. Ada yang ‘manut’ dengan obat medis. Ada juga sebaliknya, alias lebih pada ke obat-obatan tradisional atau herbal. Dan ada juga keduanya. What ever lah kalo soal itu …

Yang terpenting adalah, mencegah adalah perilaku mutlak dalam menghadapi situasi saat ini. Konsumsi makan 4 sehat 5 sempurna sudah tindakan yang sangat pas. Begitu juga istirahat yang cukup. Dan satu hal yang tidak bisa dilepas di masa pandemi ini adalah bertindak sesuai protokol kesehatan (prokes). Bermasker, cuci tangan, jaga jarak.

Utama dari yang paling utamanya adalah, jaga alam lingkungan kita. Kembali ke ‘pasal 1’ oksigen bersih adalah yang paling mendesak. Kadang kita lupa pada oksigen karena dia tak berwujud. Sudah siapkah tidak bernafas selama 1 menit saja ? Jika tidak, mulai kini bersikaplah santun pada alam dan lingkungan. Mari perbanyak pohon, kurangi polusi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Lebaran & Fenomena Pinjol

"Dimana Musim Lebaran, Di situlah Pinjol Bertebaran" *** Scroll Up... Scroll down... Wall Facebook saya malam ini dipenuhi postingan bersponsor pinjaman online (pinjol). Menariknya, tanpa jaminan/agunan. Mulai dari lembaganya yang berbentuk Pondok Pesantren, Koperasi, dan lainnya. Ironinya, setiap membaca komentar dari masing-masing postingan tersebut, masih banyak netizen yang yang berkomentar berminat jika tanpa jaminan 🤣🤣. Disisi lain ada juga yang berkomentar hati-hati penipuan. Karena logikanya, jika tidak ada jaminan/agunan, peminjam pastinya akan disuruh bayar biaya admin dimuka. Jika diistilahkan, ada yang sedang memasang jebakan/perangkap, tapi apakah jebakannya yang rusak atau (calon) mangsanya yang bodoh. 🤭 Fenomena di atas membuktikan bahwa mindset pragmatis sebagian orang untuk mendapatkan uang dengan cara instan masih dominan. Terlebih saat ini menjelang lebaran. Karena akan ada banyak kebutuhan yang dipersiapkan menyambut lebaran. Fenomena di atas juga m...

Bertualang ke Air Terjun Donok Desa Batu Ampar

Rabu 23 Juni 2021, sekitar pukul 9.30 WIB, teleponku berdering. Ternyata dari Betty Herlina yang mengatakan sudah hampir sampai ke rumahku. Beberapa menit kemudian sebuah minivan warna putih tiba di depan rumah. Pengemudinya adalah Komi Kendy. Teman  satu organisasi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu.  Sekaligus adek tingkatku sewaktu di Jurusan D3 Jurnalistik Universitas Bengkulu (Unib).  Tapi ternyata isi di mobil itu ada tiga orang. Yang seorang lagi bocah. Umurnya kisaran 5 tahun.  Bocah itu anak sulung Komi Kendy. Sean Kilimanjaro namanya. Panggilannya Sean. Saya tidak banyak tanya kenapa Sean ikut ? Karena saya sudah tahu banyak tentang ibunya yang memang berjiwa petualang sejak di kampus dulu. Jadi sangat wajar jika Sean diajak ibunya ke rimba. Sempat melepas sedikit penat dan meregangkan otot di rumahku. Karena perjalanan dari Bengkulu menuju rumahku sekitar dua jam lamanya atau sekitar 80 kilometer. Sepuluh menit kemudian kami pun meluncur ke De...