Langsung ke konten utama

Lebaran 2020 Ancaman Covid, Lebaran 2021 Makin Paranoid ?

Suasana lalu lintas di Jalan Lintas Liku Sembilan Taba Penanjung Bengkulu Tengah jelang lebaran 2012 [Foto : Aji Kasidi]

Situasi jelang Hari Raya Idul Fitri di Indonesia tahun 2021 (1442 Hijriah) tampaknya tidak jauh beda dengan tahun lalu 2020. Yang menyamakannya adalah masih diselimuti Pandemi Covid-19. Lalu yang menyamakannya lagi adalah riuh dan gaduh di jagat maya dan jagat nyata tentang regulasi Larangan Mudik. Dan dasar dari kesamaan itu tentunya kasus Covid-19 yang sedang ‘cantik-cantiknya bertumbuh’ pasien dan korban.

Sejenak kita flashback ke 2020. Tahun lalu, dari banyak media telah menyiarkan, bahwa Presiden Joko Widodo telah memutuskan untuk melarang aktivitas mudik menjelang Lebaran 2020 untuk mencegah penyebaran Virus Corona (Covid-19). Larangan tersebut diputuskan dalam Rapat Terbatas (Ratas) via video konferensi di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa 21 April 2020 atau sekitar 32 hari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1441 H/2020 yang ketika itu jatuh pada 24 Mei 2020.

Namun aturan itu resmi diberlakukan mulai 24 April 2020 alias tepat sebulan sebelum lebaran 2020. Dasar hukum itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Musim Mudik Idul Fitri 1441 H dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.

Pada regulasi itu juga mengatur tentang sanksi pelanggaran. Sanksi yang dimaksud adalah Pasal 93 Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Di mana setiap pelanggar ketentuan tentang karantina kesehatan dipidana satu tahun penjara dan denda maksimal Rp100 juta. Dan aturan itu diberlakukan pada 7 Mei 2020.

Lucunya lagi, pro kontra larangan mudik tahun lalu ditambah gaduh lagi dengan istilah kosakata ‘mudik’ dan ‘pulang kampung’. Yang mana dari kedua kosa kata itu mungkin bisa jadi hampir separuh orang-orang di Indonesia setiap hari membahas arti kata mudik dan pulang kampung. Mulai dari habis sahur sampai mau sahur lagi sampai besok mau Sholat Ied. Hahaha…. Welkam to Indonesia. Dis is May Kauntri, dud…

So, Bagaimana situasi ledis en jentelmen di Indonesia se jagat nusantara dan jagat maya dengan adanya regulasi baru di masa pandemi Covid tersebut ? Tentunya ada pro dan kontra. Dan apakah masyarakat masih ada yang mudik ? Jawabannya kita semua sudah pada tahu lah yaa….

Kini kembali ke tahun 2021. Regulasi Larangan Mudik tahun ini diatur dalam Surat Edaran (SE) dari Satgas Covid-19 Nomor 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Corona Virus Disease 2019 selama bulan suci Ramadan 1442 Hijriah.

Warga dilarang mudik mulai 6 - 17 Mei 2021 dan berlaku bagi semua kalangan masyarakat untuk menekan penyebaran COVID-19. Dari SE tersebut, dijelaskan bahwa perjalanan orang selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri dikecualikan bagi kendaraan pelayanan distribusi logistik dan pelaku perjalanan dengan keperluan mendesak untuk kepentingan nonmudik, yaitu bekerja/perjalanan dinas, kunjungan keluarga sakit, kunjungan duka anggota keluarga meninggal, ibu hamil yang didampingi oleh satu orang anggota keluarga, dan kepentingan persalinan yang didampingi maksimal dua orang.

Meski begitu, pengecualian larangan mudik 2021 tetap harus mendapatkan izin tertentu. Pelaku perjalanan orang lintas kota/kabupaten/provinsi/negara selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri wajib memiliki print out surat izin perjalanan tertulis atau surat izin keluar masuk (SIKM) sebagai persyaratan melakukan perjalanan. Bukannya tahun lalu juga seperti ini ‘cara mainnya’ ? hahaha….

Lebih lanjut, operasional moda transportasi mulai kendaraan umum hingga pribadi juga tak diizinkan. Dan masih banyak lagi poin-poin yang diatur. Untuk lebih jelasnya, silakan unduh regulasinya di sini.

Aturan larangan mudik tahun ini dan tahun lalu tentunya tidak ada beda. Upaya pemerintah dan aparat keamanan dalam pencegahan pergerakan mudik juga sama. Yakni pemberlakuan pos jaga di lalu lintas wilayah khususnya di perbatasan provinsi dan wilayah strategis lainnya.

Sama halnya dengan pengaturan jadwal moda angkutan massal mulai dari transportasi darat, laut dan udara juga demikian sama seperti tahun lalu. Cuma waktunya saja yang direvisi. Betul atau betul ?

Apakah dengan adanya aturan serupa tentang larangan mudik para ledis en jentelmen di Indonesia kini masih kaget ? Kayaknya gak deh… Walaupun riuh, tapi gak segaduh tahun lalu. Walaupun bahasa regulasinya diperketat, tapi rasanya para ledis en jentelmen di Indonesia tetap masih punya cara mencari sela. Bukankah begitu para lur dulur sekalian ? hehehe…

Tapi tahun lalu dan tahun kini jelas ada pembedanya dong. Nah, yang membedakan jika tahun lalu pandemi Covid-19 baru bermula, sedangkan tahun ini genap usianya setahun lebih. Artinya, sudah setahun pemerintah dan masyarakat banyak belajar dari pengalaman di masa pandemi Covid-19. Toh, upaya vaksinasi pun sudah berjalan meski belum semua kalangan masyarakat divaksin.

Lagi pula tahun lalu itu pemerintah dan masyarakat Indonesia mungkin dinilai belum siap menghadapi atau mengupayakan antisipasi pencegahan penyebaran kasus Covid-19 karena virus yang bersumber dari Wuhan itu sedang asyik-asyiknya bertamu di Indonesia dan di negara lain. Nah, tahun ini Insyaallaah sudah bisa dinyatakan siap. Paling tidak ada sudah upaya pencegahan. Kan sudah ada Satgas Covid-19.

Setidaknya dari adanya Satgas Covid-19, mulai dari pemerintah pusat hingga ke tingkat kelurahan/desa sudah terbentuk sistem upaya antisipasi pencegahan penyebaran virus corona. Semisal, menyiapkan ruang isolasi, menyiapkan vaksin, menyiapkan rapid tes antigen dan lain-lainnya.

Eh….baidewei, sesaat saya coba mengulik-ngulik artikel di gugel tentang warga yang nekat melanggar aturan larangan mudik tahun 2020 apakah benar atau sudah membayar denda Rp 100 juta? Ternyata tidak ada satu pun berita orang bayar denda hingga ratusan juta rupiah itu. Tapi ntah jika kalian yang mengulik. Bisa jadi ada. Hehehe…. Dan apakah info tentang denda itu hoax ?

Aturan denda itu tidak hoax. Alias betul atau benar adanya. Itu tertuang dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Dan itu ada di pasal 93. Lantas, setelah lebaran 2020 berlalu dan orang-orang yang nekat mudik atau pulang kampung atau apalah bahasanya, kembali ke aktivitas semula ? Khususnya bagi orang-orang yang beraktivitas di Jabodetabek. Ya begitulah…. Biasa aja…

Artinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan di momentum lebaran. Persoalan mudik atau pulang kampung atau apalah bahasanya, itu hanya persoalan waktu. Tapi tidak bisa juga disepelekan. Momentum lebaran adalah momentum istimewa bagi Muslim khususnya dan bagi Warga Negara Indonesia secara kultur.

Atau bagi saya, momentum lebaran itu sebut saja momentum sakral. Sakral dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) ; suci, keramat. Jika dipilih kata suci, sesuai dengan harfiahnya Idul Fitri. Yakni momentum kembali fitrahnya sebagai manusia. Alias disucikan kembali atas dosa-dosa yang telah diperbuat selama ini dihapuskan oleh amalan-amalan ibadah selama bulan suci Ramadhan. Mohon maaf gak bisa panjang lebar bahas soal keharfiahan Idul Fitri secara Islami, karena saya bukan ustadz atau ulama.

Paling tidak sederhananya momentum lebaran ini adalah momentum saling bermaaf-maafan terkhusus dengan orang tua, saudara, kerabat, sahabat, teman dan lainya. Inilah yang paling hakiki dari sebuah hari yang bernama lebaran. Perihal masak ketupat, opor ayam, sajian makanan atau kue-kue khas lokal atau apalah namanya, itu hanya bagian dari kultur kita berpijak di bumi nusantara yang kaya akan beragam tradisi atau budaya.

Sekedar sharing, 2001 silam, saya pernah mengalami lebaran jauh dari orang tua. Terikat tanggungjawab rutinitas kerja di DKI Jakarta. Meski waktu itu bukan masa pandemi, tapi asli, rasa itu benar-benar hampa. Benar-benar hampa.

Tau yang bikin menangis ketika suasana lebaran ? Jawabnya adalah ketika tidak bersama keluarga ? Apalagi ketika mendengarkan lantunan takbir di malam takbiran. Gegap gempitanya malam takbir yang diiringi sahut-sahutan takbir itu membuat merinding. Serasa badan yang penuh dilumuri dosa ini tidak mampu bergerak lagi karena tak bisa mencium tangan alias sungkem dengan ibu dan bapak. Serasa tak bisa berkata “maafin saya, bu, pak”, kala itu.

Dan seenak-enaknya makanan dan minuman sewaktu momen lebaran, jika tidak bersama keluarga, semua rasa itu jadi hampa. Sampai di sini, sudah paham makna lebaran, kan ?

Yang perlu dimurka baik itu oleh pemerintah maupun masyarakat atau pihak terkait lainnya adalah, tradisi salah kaprah lebaran. Semisal, 'agenda wajib' berkunjung ke tempat wisata atau hiburan. Ini yang menjadi benang merahnya di masa pandemi seperti saat ini.

Sangat setuju dengan pemerintah yang mengetatkan aturan larangan berkerumun atau mendatangi tempat wisata. Tapi persoalan ini sepertinya agak susah dibasmi. Mengingat, mindset tentang holidei sewaktu lebaran ini biasanya kembali kepada kebiasaan pola asuh ketika masih anak-anak.

Jika dulu sewaktu kita kecil setiap lebaran diajak orangtua ke suatu tempat wisata atau hiburan, maka pola asuh itu akan terbawa sampai dewasa dan bahkan diturunkan lagi ke anak-anak kita. Sampai seterusnya begitu. 
Apa itu salah ? Tidak ! Dan itu tidak ada salahnya serta tidak ada hukum atau dalil atau apalah namanya yang melarang atau mengiyakan. Ini kan cuma persoalan kultur.

Tapi ya mbok mari kita sama-sama buka pemikiran sehat, musim pandemi saat ini coba direm sedikit emosi dan egoismenya untuk mendatangi tempat wisata atau hiburan. Cukuplah di rumah atau saling berkunjung ke rumah sanak saudara dalam menikmati suasana lebaran di musim pandemi saat ini. Yang intinya batasi ruang gerak ke publik.

Kalo perkara butuh hiburan, toh sekarang sudah banyak alternatif hiburan digital. Semisal, nonton film, internetan, main game digital, nonton tivi digital atau apalah yang sifatnya tidak berkerumun. Paling tidak inilah cara kita yang paling relevan untuk menyelamatkan diri sendiri, keluarga dan negara. Insyaallaah !!

Wallahu’a'lam bishawab….

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Lebaran & Fenomena Pinjol

"Dimana Musim Lebaran, Di situlah Pinjol Bertebaran" *** Scroll Up... Scroll down... Wall Facebook saya malam ini dipenuhi postingan bersponsor pinjaman online (pinjol). Menariknya, tanpa jaminan/agunan. Mulai dari lembaganya yang berbentuk Pondok Pesantren, Koperasi, dan lainnya. Ironinya, setiap membaca komentar dari masing-masing postingan tersebut, masih banyak netizen yang yang berkomentar berminat jika tanpa jaminan 🤣🤣. Disisi lain ada juga yang berkomentar hati-hati penipuan. Karena logikanya, jika tidak ada jaminan/agunan, peminjam pastinya akan disuruh bayar biaya admin dimuka. Jika diistilahkan, ada yang sedang memasang jebakan/perangkap, tapi apakah jebakannya yang rusak atau (calon) mangsanya yang bodoh. 🤭 Fenomena di atas membuktikan bahwa mindset pragmatis sebagian orang untuk mendapatkan uang dengan cara instan masih dominan. Terlebih saat ini menjelang lebaran. Karena akan ada banyak kebutuhan yang dipersiapkan menyambut lebaran. Fenomena di atas juga m...

Belajar dari Pandemi Flu Spanyol 1918. Isolasi Terbuka = Kunci Sembuh

Sirine ambulans hampir setiap saat terdengar jelas dari ruang kerjaku di rumah. Kadang pagi, siang, sore dan malam. Sesekali ketika dinihari. Jarak rumahku ke jalan poros lintas provinsi Bengkulu – Lubuklinggau sekitar 100 meter. Tapi saya tidak bisa memastikan apakah isi ambulans itu pasien Covid-19 yang meninggal atau bukan ? Di banyak media, baik itu media online , televisi maupun cetak, update pemberitaan data kasus Covid-19 sejak Juni 2021 terus meningkat. Sampai akhirnya pada Sabtu 3 Juli 2021, Pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan instruksi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) alias Lockdown Jilid 2 hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Data per Rabu (7/7/2021), kasus Covid-19 yang menyebar di 510 kabupaten/kota di 34 provinsi totalnya mencapai 34.379 kasus. (Selengkapnya ada di tabel data sebaran kasus Covid-19). Ada 3 poin yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Yaitu, oksigen, imunitas (sinar matahari) dan pola hidup (habbit) . *** Saya mencoba me-...

Bertualang ke Air Terjun Donok Desa Batu Ampar

Rabu 23 Juni 2021, sekitar pukul 9.30 WIB, teleponku berdering. Ternyata dari Betty Herlina yang mengatakan sudah hampir sampai ke rumahku. Beberapa menit kemudian sebuah minivan warna putih tiba di depan rumah. Pengemudinya adalah Komi Kendy. Teman  satu organisasi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu.  Sekaligus adek tingkatku sewaktu di Jurusan D3 Jurnalistik Universitas Bengkulu (Unib).  Tapi ternyata isi di mobil itu ada tiga orang. Yang seorang lagi bocah. Umurnya kisaran 5 tahun.  Bocah itu anak sulung Komi Kendy. Sean Kilimanjaro namanya. Panggilannya Sean. Saya tidak banyak tanya kenapa Sean ikut ? Karena saya sudah tahu banyak tentang ibunya yang memang berjiwa petualang sejak di kampus dulu. Jadi sangat wajar jika Sean diajak ibunya ke rimba. Sempat melepas sedikit penat dan meregangkan otot di rumahku. Karena perjalanan dari Bengkulu menuju rumahku sekitar dua jam lamanya atau sekitar 80 kilometer. Sepuluh menit kemudian kami pun meluncur ke De...