Langsung ke konten utama

Ingin Mati Jadi Petani

Ilustrasi bertani (foto : pexels-karolina-grabowska-4207908)

Kemarin, 24 September 2021 diperingati Hari Tani Nasional. Entah kenapa tetiba hasrat menulisku tergugah di Hari Tani ini ? Yang melandasinya adalah, saya ingin mati sebagai Petani.

 

***

Ya… Saya ingin mati sebagai petani. Kenapa ? Saya dibesarkan dari keluarga yang berlatar belakang wiraswasta. Bapak, tumbuh dan berkembang di lingkungan terminal Tanjung Priuk Jakarta. Sudah barang tentu jauh dari bercocok tanam alias bertani. Begitupun Ibu. Dilahirkan di tanah Jawa, tumbuh dan berkembang di lingkungan pasar. Pola kehidupan mandiri, membuat sesuatu lalu dijualbelikan. Atau menggunakan skill yang dimilikinya untuk selanjutnya menerima upah jasa.

Saya dan keempat adik-adikku, lahir dan tumbuh yang juga jauh dari lingkungan petani. Jelas, semasa bersama orangtua mengikuti pola hidup mereka. Kemandirian, keterampilan yang diajarkan orangtua adalah bekal untuk masa depan kami. Dan tentunya ketika itu masih pada ranah wiraswasta serta wirausaha.

Pernah dulu, ya kisaran saya dan adik-adik masih pada sekolah. Ketika itu ibu menyuruh kami menanam batang singkong. Cuma batang singkong saya yang tak bertunas. Sementara batang singkong tancapan adik-adik, bertunas dan tumbuh subur. Ketika itu juga ibu sempat mengklaim bahwa ‘tangan saya panas’.

Mitos dari ‘tangan panas’ yang dimaksudkan ibu ketika itu adalah, saya tidak cocok menjadi Petani. Karena menanam yang sederhana seperti batang singkong pun tak tumbuh. Momen ini terus selalu teringat seumur hidup.

Lantas kenapa berputar haluan ingin menjadi Petani ? Kan tadi sudah diklaim ‘tangannya panas’. Lagi pula masih banyak anggapan orang jika petani adalah kaum minoritas. Tapi saya tidak peduli mau dianggap apa soal Petani. Bagi saya, Petani adalah profesi mulia. Saya juga akan membuktikan, apakah benar ‘tangan ini masih panas’ ?

Ternyata dengan bertani ada banyak pelajaran yang didapatkan. Mulai dari pelajaran yang bersinggungan dengan sisi reliji, sosial masyarakat, ekonomi, bahkan masa depan. Hingga ketika itu saya pun berikrar dalam hati, ‘Saya ingin menghabiskan sisa waktu umur ini bergumul dengan tanah’.

Wajar saja ketika teman yang lama tak jumpa dia kaget mendengar kabar saya sudah tidak pada profesi lama. Namun bukan berarti berhenti menulis. Tapi, putaran haluan ini tidak sepragmatis ketika saya memikirkan dan mengucapkannya, meski dalam hati.

Tidak juga dengan langkah konkrit langsung bercocoktanam sehingga alih-alih biar dibilang sekarang jadi Petani. Tidak segampang itu mas, mbak, om, tante. Faktanya pun, aktivitas saya saat ini masih didominasi wiraswasta.

Seperti dijelaskan di atas. Saya dilahirkan, tumbuh dan berkembang di lingkungan kota dan pasar. Tapi mohon izinkan atau perkenankan saya mati sebagai Petani. Lebih dari 30 tahun hidup, boleh dibilang tidak pernah menanam. Apa pun itu. Sekalipun pernah, tak tumbuh. Ketika usia ini beranjak 40 tahun, artinya, belum separuh hidup saya bergumul dengan tanah.

Terus, apa guna ingin jadi Petani jika tak bertindak tani ? Satu sisi ungkapan pertanyaan itu, benar. Jelas profesi petani akan melekat jika kita bertani. Tapi maksud ingin jadi Petani bukan lebih kepada ketika praktek bercocoktanam lalu menginginkan sebuah hasil yang tujuannya adalah panen. Tidak demikian.

Bertani. Saya mempelajarinya mulai dari sisi reliji. Ada Ketauhid-an yang saya dapatkan dari belajar bertani. Usaha, doa dan ikhtiar ada di sini. Sisi sabar pun menguatkan kita semakin menjadi dewasa. Semesta adalah penentu. Tuhanlah Maha Berkehendak.

Ada tentang kedisiplinan. Baik kedisiplinan waktu maupun perilaku. Ada tentang keuletan, kegigihan yang berujung pada kesabaran tanpa batas. Terselip juga pelajaran tentang pengharapan pada Sang Pencipta. Kemudian ada tentang pelajaran ‘bersetubuh’ dengan alam. Membaca kode alam dan yang paling utama mengasihi alam.  

Mengasihi pun bukan saja dengan alam. Mengasihi dengan sesama juga ada pada petani. Saling berbagi, membantu, bergotongroyong, kerjasama, satu kesatuan. Dan ini jelas dan nyata ada pada kehidupan sosial masyarakat. Kemandirian dan kesederhaan adalah yang paling mencolok.

Petani juga bisa jadi leader bagi diri sendiri atau bisa juga secara kelompok. Petani juga bisa dan banyak juga kok yang kaya. Tapi status kayanya petani pastilah kalah dengan status kayanya pengusaha. Dan satu hal yang perlu diketahui, bahwa petani juga sebagai penentu ekonomi bangsa ini. Serta penentu masa depan bangsa.

Sebenarnya masih banyak yang mau ditulis. Tapi segini aja dulu. Yang jelas, untuk saat ini saya masih akan terus belajar tentang bercocoktanam sampai pada akhirnya saya mati jadi petani. Paling tidak untuk saat ini saya sudah memulainya dengan memanfaatkan pekarangan rumah dengan menanami tanaman yang bermanfaat bagi keluarga. Seperti sayuran, rimpang-rimpangan, beberapa pohon buah dan lainnya.

Benang merahnya dari petani itu, Ketauhid-an, kesederhaan. Karena kesederhanaan bukanlah status sosial. Tapi ajaran sunnah dari Rasullullaah Sholallaahu ’Alaihi Wassalam. Dan sebaik-baiknya hasil adalah berproses. Itu yang saya dapatkan belajar dari Petani.

Wallaahu a’lam Bishawab

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Musim Lebaran & Fenomena Pinjol

"Dimana Musim Lebaran, Di situlah Pinjol Bertebaran" *** Scroll Up... Scroll down... Wall Facebook saya malam ini dipenuhi postingan bersponsor pinjaman online (pinjol). Menariknya, tanpa jaminan/agunan. Mulai dari lembaganya yang berbentuk Pondok Pesantren, Koperasi, dan lainnya. Ironinya, setiap membaca komentar dari masing-masing postingan tersebut, masih banyak netizen yang yang berkomentar berminat jika tanpa jaminan 🤣🤣. Disisi lain ada juga yang berkomentar hati-hati penipuan. Karena logikanya, jika tidak ada jaminan/agunan, peminjam pastinya akan disuruh bayar biaya admin dimuka. Jika diistilahkan, ada yang sedang memasang jebakan/perangkap, tapi apakah jebakannya yang rusak atau (calon) mangsanya yang bodoh. 🤭 Fenomena di atas membuktikan bahwa mindset pragmatis sebagian orang untuk mendapatkan uang dengan cara instan masih dominan. Terlebih saat ini menjelang lebaran. Karena akan ada banyak kebutuhan yang dipersiapkan menyambut lebaran. Fenomena di atas juga m...

Belajar dari Pandemi Flu Spanyol 1918. Isolasi Terbuka = Kunci Sembuh

Sirine ambulans hampir setiap saat terdengar jelas dari ruang kerjaku di rumah. Kadang pagi, siang, sore dan malam. Sesekali ketika dinihari. Jarak rumahku ke jalan poros lintas provinsi Bengkulu – Lubuklinggau sekitar 100 meter. Tapi saya tidak bisa memastikan apakah isi ambulans itu pasien Covid-19 yang meninggal atau bukan ? Di banyak media, baik itu media online , televisi maupun cetak, update pemberitaan data kasus Covid-19 sejak Juni 2021 terus meningkat. Sampai akhirnya pada Sabtu 3 Juli 2021, Pemerintah Indonesia mengeluarkan aturan instruksi PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) alias Lockdown Jilid 2 hampir di seluruh kabupaten/kota di Indonesia. Data per Rabu (7/7/2021), kasus Covid-19 yang menyebar di 510 kabupaten/kota di 34 provinsi totalnya mencapai 34.379 kasus. (Selengkapnya ada di tabel data sebaran kasus Covid-19). Ada 3 poin yang akan saya bahas dalam tulisan ini. Yaitu, oksigen, imunitas (sinar matahari) dan pola hidup (habbit) . *** Saya mencoba me-...

Bertualang ke Air Terjun Donok Desa Batu Ampar

Rabu 23 Juni 2021, sekitar pukul 9.30 WIB, teleponku berdering. Ternyata dari Betty Herlina yang mengatakan sudah hampir sampai ke rumahku. Beberapa menit kemudian sebuah minivan warna putih tiba di depan rumah. Pengemudinya adalah Komi Kendy. Teman  satu organisasi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bengkulu.  Sekaligus adek tingkatku sewaktu di Jurusan D3 Jurnalistik Universitas Bengkulu (Unib).  Tapi ternyata isi di mobil itu ada tiga orang. Yang seorang lagi bocah. Umurnya kisaran 5 tahun.  Bocah itu anak sulung Komi Kendy. Sean Kilimanjaro namanya. Panggilannya Sean. Saya tidak banyak tanya kenapa Sean ikut ? Karena saya sudah tahu banyak tentang ibunya yang memang berjiwa petualang sejak di kampus dulu. Jadi sangat wajar jika Sean diajak ibunya ke rimba. Sempat melepas sedikit penat dan meregangkan otot di rumahku. Karena perjalanan dari Bengkulu menuju rumahku sekitar dua jam lamanya atau sekitar 80 kilometer. Sepuluh menit kemudian kami pun meluncur ke De...